Senin, 14 Mei 2018

3 Perbedaan mendasar lagu jepang dan Lagu Indonesia

3 Perbedaan mendasar lagu jepang dan Lagu Indonesia


3 Perbedaan mendasar lagu jepang dan Lagu Indonesia


Selamat malam dan selamat hari senin untuk teman-teman semua, kali ini saya akan membahas tentang apa sih perbedaan music Jepang dengan music Yang Ada di Indonesia.

Saya akan bahas 3 perbedan yang paling mendasar dari kedua jenis music di negara ini, simak ya :

Yang pertama perbedaannya yaitu terletak pada kalimat lirik dari setiap lagu yang diciptakan oleh kedua negara ini, di Indonesia saat ini banyak musisi zaman now yang menggunakan lirik yang kurang mendidik dan terkesan membuat galau (kecuali lagu kebangsaan yaa)
Sedangkan dijepang masih mengedepankan makna atau arti dari setiap lagu yang disampaikan oleh musisi disana, ini salah satu yang membuat saya menyukai lagu-lagu jepang, walaupun banyak yang gak nyambung artinya :p

Yang kedua, perbedaan dari kedua negara ini terletak pada personil yang membawakan lagu, kalua di Indonesia rata-rata kalua tidak penyayi solo ya band, jarang ada grup atau rombongan yang menyayikan lagu bersama-sama. Berbeda dengan Jepang, kalua dijepang ada sih yang penyayi solo, tapi ada juga band yang vokalisnya lebih dari satu orang (Monkey majik) à band favorit saya saat ini boleh di searching kok hehe.  Bahkan ada yang kalo nyanyi gerombolan, namanya idol group.. yang isinya banyaaakk orang. Nah ini nanti akan dibahas di perbedaan ketiga ya gaes.
Saya juga suka kok lagu-lagu idol group disana, eh… di Indonesia juga ada lho ternyata.. sistergrupnya itu yang namanya AKB48 dan JKT48.
Kalo lagu korea kayanya saya kurang sreg deh hehe

Dan yang ketiga dan yang terakhir perbedaannya ya di Bahasa yang mereka pake *krikkrik..
Yaps itulah yang membedakan lagu Indonesia dan lagu Jepang, dan sebenarnya diakhir ini saya bingung mau tulis apa lagi… mungkin ada saran yang bisa saya bahas untuk kedepannya?
Atau mau tentang kehutanan? Untuk teman-teman forester yang ada di luar sana yang haus akan ilmu mengenai hutan dan kehutanan di Indonesia, bisa kunjungi facebook saya yaitu facebook.com/iinindasati09
Sekian dan terimakasih, semoga bermanfaat untuk kita semua.




Minggu, 13 Mei 2018

7 Penyebab Mahasiswa Malas Mengerjakan Skripsi

7 Penyebab Mahasiswa Malas Mengerjakan Skripsi

Haloo selamat malam teman-teman, sudah lama sekali saya tidak menulis ya.. hehe
Mungkin karena sibuk (dibaca malas). yaps penyakit yang membuat rusak segala sesuatu.
Saya baru baca buku tentang bisnis.. dan ada tulisan didalamnya yang membuat saya sadar, (baru sadar).

Sebenarnya saya sedang bingung mau tulis apa di blog ini, tapi beliau bilang, tulis aja yang ada dipikiran saat itu juga.
Jadi saya ikutin sarannya deh.. tercetuslah untuk mulai nulis di blog yang mulai banyak sarang laba-laabnya karena sudah lama gak keurus hehe

Nah , langsung saja yaa kita ta ulas tentang 7 penyebab kemalasan menyelesaikan skripsi, untuk mahasiswa semester akhir seperti saya dan teman-teman seperjuangan hahaha

Yang pertama penyebabnya yaitu terlena, kenapa terlena?
Khususnya untuk mahasiswa yang kuliah di kota yang membuat mereka nyaman dengan suasana dn keadaan disekitar nya. Saya contohnya, sedang berkuliah di kota yang terkenal istimewa, yaps dialah Jogja, yang membuat hati nyaman menjadi bagian dari masyarakatnya.

Yang kedua karena MALAS, MALAS, dan MALAS

Yang ketiga, karena skripsi belum menjadi prioritas utama, maksudnya disini yaitu masih ada sesuatu (dibaca kerjaan) yang harus diselesaikan seperti ikut project doesen,nilai yang belum mencukupi maka harus mengulang mata kuliah atau menacari uang untuk membayar biaya kuliah, dan terjebak di dunia lain (pergaulan yang salah).

Yang keempat yaitu bingung judul skrpsi yang mau diambil. Ini terjadi sering di awal-awal mulai garap skripsi. Seperti saya dulu sih hehe (curhat)

Yang kelima sebenarnya saya masih belum yakin sih, tapi ini terjadi dengan beberapa orang disekitar saya termasuk saya.. apakah itu? Jengjeng, belum “pas” dengan dosen, yaps kadang mahasiswa takut atau ekspektasi tidak sesuai dengan realita, dapat dosen yang susah ditemui/ killer/ kurang klop. Saya sarankan jangan pernah berpikir seperti itu, karena malah membuat pikiran bawah sadar kita terpengaruh.

Yang keenam, ini termasuk kesalahan fatal sih, yaitu merasa salah jurusan,,, kalo yang ini udah fatal banget..karena secara tidak langsung, hati kita tidak lagi di tertuju disitu.
Dan yang terakhir yaitu karena “bisnis”. Kenapa bisnis?  Karena terkadang mahasiswa yang merasa sudah bisa dapat uang sendiri. Mungkin ada benarnya sih.. tapi piker-pikir lagi deh, gimana susahnya orang tua cari uang untuk membiayai kamu kuliah , kecuali memang bisnisnya menjanjikan dan buat orang tua gak keluarin biaya buat kamu.

Itulah ketujuh penyebab mahasiswa belum selesai skripsinya, kamu termasuk yang mana hayoo? Atau malah punya penyebab lain yang tidak sya sebutkan diatas.
Share jika bermanfaat yaa.. BTW habis nulis blog ini saya mau ngerjain Bab 4 skirpsi saya yang sudah tertunda – tunda ini dan semoga besok konsultasi mendapat sedikit revisi hehe
Selamat membaca dan semoga bermanfaat!

Minggu, 06 November 2016

Aneka Praktek Agroforestri di Indonesia

Aneka Praktek Agroforestri di Indonesia

Indonesia memiliki dua ratus juta penduduk dari berbagai kelompok etnis tersebar di ribuan pulau sehingga muncul aneka ragam pilihan sistem usaha tani. Selain itu, hubungan penduduk dengan dunia luar, diwakili oleh para pedagang Cina, Arab dan Eropa, telah berkembang sejak lama (Dunn, 1975) sehingga permintaan pasarpun juga beraneka ragam. Semua unsur ini menjadi pendorong proses pembangunan bermacam-macam agroforest.
Sekarang ini sistem agroforest sepertinya hanya diterapkan oleh petani-petani kecil. Usaha-usaha agroforest kebanyakan bisa ditemukan di sekitar
pemukiman penduduk.  Sekeliling rumah merupakan tempat yang cocok untuk melindungi dan membudidayakan tumbuhan hutan, karena memudahkan pengawasannya.  Kebun-kebun pekarangan (home-garden) memadukan
berbagai sumber daya tanaman asal hutan dengan jenis-jenis tanaman eksotik yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, seperti buah-buahan, sayuran dan tanaman untuk penyedia bumbu dapur (Bhs. Jawa:  empon-empon), tanaman
obat, serta jenis tanaman yang diyakini memiliki kegunaan gaib.  Contohnya, menurut kepercayaan di Jawa ranting pohon kelor (Moringa pterygosperma Gaerttn.) dapat digunakan untuk menghilangkan kekebalan seorang yang ber-
ilmu.  Ranting bambu kuning dapat digunakan untuk mengusir ular dan sebagainya.

Seperti telah disebutkan di atas, kebun pekarangan di Jawa memadukan tanaman bermanfaat asal hutan dengan tanaman khas pertanian. Semakin banyak campur tangan manusia membuat kebun itu menjadi semakin artifisial (sistem buatan yang tidak alami). Kekhasan vegetasi hutan seringkali masih bisa ditemukan, misalnya dapat dijumpai berbagai jenis tumbuhan bawah seperti berbagai macam pakis (fern), atau epifit (misalnya anggrek liar). Kekayaan jenisnya bervariasi, beberapa pekarangan yang tidak terlalu banyak campur tangan pemiliknya memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi, yang
dapat mencapai lebih dari 50 jenis tanaman pada lahan seluas 400 m2 (Karyono,

1979; Michon, 1985).  Bila diperhatikan dari struktur kanopi tajuknya, kebun- kebun itu memiliki lapisan/strata tajuk bertingkat (multi-strata) mirip dengan yang dijumpai di hutan. Kemiripan kanopi hutan dengan agroforest sulit dibedakan melalui teknik foto udara.
Tingkat lapisan tajuk vegetasi agroforest dapat dibedakan menjadi 3 sampai 5 tingkat, mulai dari lapisan semak (sayuran, cabai, umbi-umbian), perdu
(pisang, pepaya, tanaman hias) hingga lapisan pohon tinggi (sampai lebih 35 m,
misalnya damar, durian, duku). Proses reproduksi sistem yang menyerupai
hutan ini lebih banyak mengikuti kaidah alam daripada teknik-teknik budidaya perkebunan. Sebagai contoh, kasus terbentuknya damar agroforest di Krui.

Mengapa agroforest perlu mendapat perhatian?
Kebun-kebun agroforest asli Indonesia memperlihatkan ciri-ciri yang pantas diberi perhatian dalam rangka pembangunan pertanian dan kehutanan, khususnya untuk daerah-daerah rawan secara ekologis (kurang subur, terlalu curam, terlalu berbatu). Lahan  tersebut tidak cocok untuk pertanian dan seharusnya tertutup rapat seperti hutan. Di daerah-daerah tersebut hanya tanaman tahunan saja yang dapat berproduksi secara berkelanjutan, sedangkan untuk tanaman pangan dan tanaman musiman lain hanya dimungkinkan dengan investasi yang sangat besar (penyediaan pupuk dan pembangunan fisik pengendali erosi). Manfaat penerapan sistem agroforest ditinjau dari beberapa pihak atau sudut pandang: (1) pertanian, (2) petani, (3) peladang, (4)
kehutanan.

Sudut pandang pertanian
Agroforest merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat- guna, sesuai dengan keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial khususnya tanaman semusim, menuntut terjadinya perubahan sistem produksi secara total menjadi sistem monokultur dengan masukan energi, modal, dan tenaga kerja dari luar yang relatif besar yang tidak sesuai untuk kondisi petani. Selain itu, percobaan-percobaan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi standar yang berbeda dari keadaan yang lazim dihadapi petani.  Tidak mengherankan bila banyak hasil percobaan mengalami kegagalan pada tingkat petani.
Agroforest mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat. Peran utama agroforest bukan sebagai penghasil bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil pemasukan uang dan modal. Misalnya: kebun
damar, kebun karet dan kebun kayu manis menjadi andalan pemasukan modal
di Sumatera. Bahkan, agroforest seringkali menjadi satu-satunya sumber uang tunai bagi keluarga petani. Agroforest mampu menyumbang 50% hingga 80% pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produksi langsung maupun tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pemrosesan dan pemasaran hasilnya.

Di lain pihak sistem-sistem produksi asli setempat (salah satunya agroforest) selalu dianggap sebagai sistem yang hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri saja (subsisten). Oleh karena itu, bentuk dukungan terhadap pertanian komersial petani kecil biasanya diarahkan kepada upaya penataan kembali sistem produksi secara keseluruhan. Pendekatan terpadu untuk mengembangkan sistem-sistem yang sudah ada masih sangat kurang, karena umumnya dianggap hanya sebagai "kebun dapur" yang tidak lebih dari sekedar pelengkap sistem pertanian lainnya, di mana produksinya hanya dikhususkan untuk konsumsi sendiri dengan menghasilkan hasil-hasil sampingan seperti kayu bakar. Oleh karena itu, sistem ini kurang mendapat perhatian.

Sudut pandang petani
Keunikan konsep pertanian komersial agroforest adalah karena sistem ini bertumpu pada keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies saja. Usaha memperoleh produksi komersial ternyata sejalan dengan produksi dan fungsi lain yang lebih luas. Hal ini menimbulkan beberapa konsekuensi menarik bagi petani.
Aneka hasil kebun hutan sebagai "bank" yang sebenarnya. Pendapatan dari agroforest umumnya dapat menutupi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara teratur misalnya lateks karet, damar, kopi, kayu manis dan lain-lain.  Selain itu, agroforest juga dapat membantu menutup pengeluaran tahunan dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti buah-buahan, cengkeh, pala, dan lain-lain. Komoditas- komoditas lain seperti kayu bahan bangunan juga dapat menjadi sumber uang yang cukup besar meskipun tidak tetap, dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Di beberapa daerah di Indonesia menabung uang tunai masih belum merupakan kebiasaan, maka keragaman bentuk sumber uang sangatlah penting. Keluwesan agroforest juga penting di daerah-daerah di mana kredit sulit didapatkan karena mahal atau tidak ada sama sekali. Semua ini adalah kenyataan umum yang dijumpai di pedesaan di daerah tropis.

Struktur yang tetap dengan diversifikasi tanaman komersial, menjamin keamanan dan kelenturan pendapatan petani, walaupun sistem ini tidak memungkinkan adanya akumulasi modal secara cepat dalam bentuk aset-aset yang dapat segera diuangkan.  Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau risiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan.  Jika terjadi kemerosotan harga satu komoditas, spesies ini dapat dengan mudah ditelantarkan saja, hingga suatu saat pemanfaatannya kembali menguntungkan.  Proses tersebut tidak menimbulkan gangguan ekologi terhadap sistem kebun.  Petak kebun tetap utuh dan produktif dan spesies yang ditelantarkan akan tetap hidup dalam struktur kebun, dan selalu siap untuk kembali dipanen sewaktu-waktu. Sementara itu spesies-spesies baru dapat diperkenalkan tanpa merombak sistem produksi yang ada.
Ciri keluwesan yang lain adalah perubahan nilai ekonomi yang mungkin dialami beberapa spesies. Spesies yang sudah puluhan tahun berada di dalam kebun dapat tiba-tiba mendapat nilai komersil baru akibat evolusi pasar, atau pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan baru.  Hal seperti ini telah terjadi pada buah durian, duku, dan cengkeh serta terakhir kayu ketika kayu dari hutan alam menjadi langka.

Melalui diversifikasi hasil-hasil sekunder, agroforest menyediakan kebutuhan sehari-hari petani. Agroforest juga berperan sebagai "kebun dapur" yang memasok bahan makanan pelengkap (sayuran, buah, rempah, bumbu). Melalui keanekaragaman tumbuhan, agroforest dapat menggantikan peran
hutan alam dalam menyediakan hasil-hasil yang akhir-akhir ini semakin langka
dan mahal seperti kayu bahan bangunan, rotan, bahan atap, tanaman obat, dan binatang buruan.

Sudut pandang peladang

Kebutuhan tenaga kerja rendah
Agroforest merupakan model peralihan dari perladangan berpindah ke pertanian menetap yang berhasil, murah, menguntungkan dan lestari. Meskipun menurut standar konvensional produktivitasnya dianggap rendah, bila ditinjau dari sisi alokasi tenaga kerja yang dibutuhkan , agroforest lebih menguntungkan dibandingkan sistem pertanian monokultur. Penilaian bahwa produktivitas agroforest rendah, disebabkan kesalahpahaman terhadap sistem yang dikembangkan petani. Hal ini karena umumnya hanya tanaman utama yang diperhitungkan sementara hasil-hasil dan fungsi ekonomi lain diabaikan. Pembuatan dan pengelolaan agroforest hanya membutuhkan nilai investasi dan alokasi tenaga kerja yang kecil.  Hal ini sangat penting terutama untuk daerah- daerah yang ketersediaan tenaga kerja dan uang tunai jauh lebih terbatas daripada ketersediaan lahan, seperti yang umum terjadi di wilayah-wilayah perladangan berpindah di daerah beriklim tropis basah.

Tidak memerlukan teknik canggih
Selain manfaat ekonomi, perlu juga dijelaskan beberapa ciri penting lain yang membantu pemahaman terhadap hubungan positif antara peladang berpindah dan agroforest. Pembentukan agroforest berhubungan langsung dengan kegiatan perladangan berpindah.  Bentuk ladang berpindah mengalami perkembangan dengan adanya penanaman pohon yang oleh penduduk setempat dikenal bernilai ekonomi tinggi. Tindakan yang sangat sederhana ini dapat dilakukan oleh peladang berpindah di semua daerah tropis basah. Agroforest ini dapat dikelola tanpa teknologi yang canggih, tetapi bertumpu sepenuhnya pada pengetahuan tradisional peladang mengenai lingkungan hutan mereka.   Hasilnya, terdapat perbedaan yang sangat nyata antara sistem agroforest yang lebih menetap dengan sistem peladangan berpindah yang biasanya melibatkan pemberaan dan membuka lahan pertanian baru di tempat lain. Ladang-ladang yang diberakan untuk sementara waktu, selanjutnya ditanami kembali dengan pepohonan untuk diwariskan pada generasi berikutnya. Kedudukan komersil tanaman pohon dan nilai ekonomisnya sebagai modal dan harta warisan dapat mencegah terjadinya pembukaan ladang-ladang baru, dengan demikian lahan tersebut menjadi terbebas dari ancaman perladangan berpindah lainnya.

Sudut pandang kehutanan

Mekanisme sederhana untuk mengelola keanekaragaman
Seperti halnya pada semua lahan pertanian, sebagian terbesar agroforest
tercipta melalui tindakan penebangan dan pembakaran hutan. Perbedaan agroforest dengan budidaya pertanian pada umumnya terletak pada tindakan yang dilakukan pada tumbuhan perintis yang berasal dari hutan.  Pada

budidaya pertanian, keberadaan tumbuhan perintis alami dianggap sebagai gulma yang mengancam produksi tanaman pokok. Pada sistem agroforest, petani tidak melakukan pembabatan hutan kembali, karena mereka menggunakan ladang sebagai lingkungan pendukung proses pertumbuhan pepohonan. Proses pembentukan agroforest seperti ini masih dapat dijumpai di Sumatera, antara lain di Pesisir Krui (Propinsi Lampung) untuk agroforest damar, di Jambi untuk agroforest karet. Oleh karena pada sistem agroforest tidak melibatkan penyiangan intensif, maka kembalinya spesies-spesies perintis dapat mempertahankan sebagian spesies-spesies asli hutan.

Pengembangan hasil hutan non-kayu
Sejak tahun 1960-an bentuk pengelolaan hutan yang dikembangkan terpaku pada  produksi kayu gelondongan. Kayu gelondongan merupakan unsur dominan hutan yang relatif sulit dan memerlukan waktu lama untuk diperbaharui. Eksploitasinya yang berbasis tegakan bukan individu pohon, mengakibatkan degradasi drastis seluruh ekosistem hutan. Hal ini memunculkan suatu usulan agar pihak-pihak kehutanan dalam arti luas lebih mengalihkan perhatiannya pada hasil hutan non-kayu (disebut juga hasil hutan minor) misalnya damar, karet remah dan lateks, buah-buahan, biji-bijian, kayu- kayu harum, zat pewarna, pestisida alam, dan bahan kimia untuk industri obat.


Agroforest di Indonesia, yang bertumpu pada hasil hutan non-kayu, merupakan salah satu alternatif menarik terhadap domestikasi monokultur yang lazim dikerjakan.  Pengelolaan agroforest tidak ekslusif pada satu sumber
daya yang terpilih saja, tetapi memungkinkan kehadiran sumber daya lain yang
mungkin tidak bermanfaat langsung bagi masyarakat.  Selain itu membangun agroforest merupakan strategi masyarakat sekitar hutan untuk memiliki kembali sumber daya hutan yang pernah hilang atau terlarang bagi mereka. Agroforest memungkinkan adanya pelestarian wewenang dan tanggung jawab masyarakat setempat atas seluruh sumber daya hutan. Hal ini merupakan sifat

utama agroforest yang  bisa  menjadi peluang utama bagi pengembangan sistem agroforest oleh badan-badan pembangunan resmi terutama kalangan kehutanan yang selama ini masih tetap khawatir akan kehilangan kewenangan menguasai sumber daya yang selama ini dianggap sebagai domain ekslusif mereka.

Kelemahan dan Tantangan Agroforest

Kelemahan

Kesulitan visual
Keberagaman bentuk, kemiripan dengan vegetasi hutan alam, dan kesulitan
membedakannya dalam penginderaan jauh (remote sensing) menjadikan
bentang lahan agroforest sulit dikenali. Kebanyakan agroforest dalam peta-peta
resmi diklasifikasikan sebagai hutan sekunder, hutan rusak, atau belukar, oleh
karena itu biasanya disatukan ke dalam kelompok lahan yang menjadi target rehabilitasi lahan dan hutan.

Dalam kenyataannya di lapangan, seringkali agroforest sukar dibedakan dari “hutan rakyat”, walaupun intensitas pemeliharaan yang dilakukan pada agroforest nampaknya lebih nyata daripada pemeliharaan hutan rakyat.

Kesulitan mengukur produktivitas
Ahli ekonomi pertanian terbiasa dengan perhatian hanya kepada jenis tanaman dan pola penanaman yang teratur rapi. Biasanya mereka enggan memberi perhatian terhadap nilai pepohonan dan tanaman non-komersial (apalagi nilai yang sifatnya sulit terukur/intangible, seperti konservasi dan jasa lingkungan lainnya). Mereka juga biasanya tidak memiliki latar belakang yang cukup
untuk mengenali manfaat ekonomi spesies pepohonan dan herbal/semak.
Rimbawan terbiasa dengan memperlakukan pohon dalam satuan tegakan sedangkan dalam agroforestri diperlukan penanganan pohon secara individual. Keahlian memperlakukan pohon secara indivual adalah kelebihan seorang agroforester yang tidak dimiliki oleh rimbawan.  Sebagai contoh keahlian menebang sebuah pohon di antara pohon-pohon lainnya tanpa banyak
merusak tetangganya adalah salah satu ciri dari sistem silvikultur agroforestri yang berbeda dengan sistem silvikultur kehutanan tradisional.

Kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan pohon pada lahan pertanian Adanya penyisipan pohon di antara tanaman semusim, akan menimbulkan masalah yang sering merugikan petani karena kurangnya pengetahuan petani akan adanya interaksi antar tanaman (lihat Bahan Ajaran 4 oleh Suprayogo dkk). Tidak sedikit petani yang masih beranggapan, bahwa menanam pohon pada lahan usaha mereka akan mengurangi produktivitas panen pertaniannya. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya pemahaman para penyuluh lapangan pertanian akan fungsi pohon dalam agroforestri, baik yang berkaitan dengan total dan keberlanjutan produksi lahan.

Ancaman Keberlanjutan (dikutip dari de Foresta et al., 2000)

Kesulitan merubah pandangan ahli agronomi dan kehutanan
Besarnya jenis dan ketidakteraturan tanaman dalam agroforest membuatnya
cenderung diabaikan. Kebanyakan ahli pertanian dan kehutanan yang sudah
sangat terbiasa dengan keteraturan sistem monokultur dan agroforestri sederhana menganggap ketidakteraturan dan keberagaman tanaman ini sebagai tanda kemalasan petani. Kebanyakan ahli agronomi dan kehutanan yang akrab dengan pola pertanian sederhana dan keaslian hutan alam masih

sulit untuk mengakui bahwa agroforest adalah sistem usaha tani yang produktif.

Salah satu kesulitan bagi seorang rimbawan dalam mengelola sistem agroforest di lahan hutan adalah lebih rumitnya metode yang dipakai dalam penaksiran hasil daripada pekerjaan rutinnya yang relatif lebih sederhana. Di samping itu, rimbawan tidak terbiasa untuk bekerja /berinteraksi langsung dengan masyarakat dalam semangat kemitraan, partisipatif, dan paradigma yang berbeda.

Agroforest adalah sistem kuno (tidak modern)
Banyak kalangan memandang agroforest sebagai sesuatu yang identik dengan
pertanian primitif yang terbelakang, sama sekali tidak patut dibanggakan. Padahal, agroforest merupakan wujud konsep petani, proses adaptasi dan inovasi yang terus menerus yang berkaitan dengan perubahan ekologi, keadaan sosial ekonomi, dan perkembangan pasar. Sistem agroforest yang ada saat ini merupakan karya modern dari sejarah panjang adaptasi dan inovasi, uji coba berulang-ulang, pemaduan spesies baru dan strategi agroforestri baru.

Orang sering membenturkan antara teori ilmiah modern dengan pengetahuan tradisional yang sudah teruji secara lokal yang dianggap kuno. Bekerja dalam agroforestri orang akan mendapat kesempatan yang tanpa batas untuk melakukan pendalaman ulang (refining) teori umumnya, yang pada hakekatnya merupakan hasil generalisasi ilmiah dengan pengetahuan tradisional yang dijumpainya di lapangan. Bila sampai pada kesimpulan, mereka masih membenturkan kedua pengetahuan itu berarti mereka sendiri belum arif dan sebagai ilmuwan boleh dikatakan masih mentah”.

Kepadatan penduduk
Pengembangan agroforest membutuhkan ketersediaan luasan lahan, karenanya agroforest sulit berkembang di daerah-daerah yang sangat padat
penduduknya. Ada kecenderungan bahwa peningkatan penduduk menyebabkan konversi lahan agroforest ke bentuk penggunaan lain yang lebih menguntungkan dalam jangka pendek.

Penguasaan lahan
Luas agroforest di Indonesia mencapai jutaan hektar, tetapi tidak secara resmi
termasuk ke dalam salah satu kategori penggunaan lahan.  Hampir semua
petani agroforest tidak memiliki bukti kepemilikan yang resmi atas lahan mereka. Banyak areal agroforest yang dinyatakan berada di dalam kawasan hutan negara, atau dialokasikan kepada perusahaan perkebunan besar dan proyek pembangunan besar lainnya. Ketidakpastian kepemilikan jangka ini berakibat keengganan petani untuk melanjutkan sistem pengelolaan yang sekarang sudah mereka bangun.

Ketiadaan data akurat
Kecuali untuk agroforest karet dan sebagian kecil lainnya, belum ada upaya
serius untuk mendapatkan data yang akurat mengenai keberadaan/luasan agroforest yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Indonesia.  Akibatnya, belum ada upaya untuk memberikan dukungan pembangunan terhadap agroforest tersebut, seperti yang diberikan terhadap sawah, kebun monokultur (cengkeh, kelapa, kopi, dan lain-lain), atau Hutan Tanaman Industri (HTI).

Egosektoral
Pengembangan agroforestri menuntut adanya kerjasama yang baik antara kehutanan dan pertanian (dalam arti luas).  Akan tetapi, khususnya di Indonesia, terjadi pembagian administrasi yang sangat jelas antara sektor pertanian dan kehutanan.  Meskipun dari sisi pengetahuan dan semangat untuk mengembangkan agroforestri di masing-masing sektor sangat besar, kesulitan sering terjadi pada taraf implementasinya (mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya di lapangan).  Hal tersebut karena kesulitan melaksanakan koordinasi antar berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda, yang terkait dengan kebijakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab teknis dan finansial.  Padahal di sisi lain, untuk membentuk agroforestri menjadi sektor dan memiliki departemen sendiri sangat tidak dimungkinkan. Kondisi ini mengakibatkan pengembangan agroforestri hingga saat ini lebih banyak berhasil dalam konteks penelitian dan uji-coba pada skala yang terbatas.  Keberhasilan itupun juga belum optimal, karena tidak adanya dukungan kebijakan yang diperlukan, tidak terkecuali pada fase pasca panen dan pemasaran dari keseluruhan produk yang dihasilkan.