Aneka Praktek Agroforestri di Indonesia
Indonesia memiliki dua ratus juta penduduk dari berbagai kelompok etnis tersebar di ribuan pulau sehingga muncul aneka ragam pilihan sistem usaha
tani. Selain itu, hubungan penduduk dengan dunia luar, diwakili oleh para
pedagang Cina, Arab dan Eropa, telah berkembang sejak lama (Dunn, 1975) sehingga permintaan pasarpun juga beraneka ragam. Semua unsur ini menjadi
pendorong proses pembangunan bermacam-macam agroforest.
Sekarang ini sistem agroforest sepertinya hanya diterapkan oleh petani-petani
kecil. Usaha-usaha agroforest kebanyakan bisa ditemukan di sekitar
pemukiman penduduk. Sekeliling rumah merupakan tempat yang cocok untuk
melindungi dan membudidayakan tumbuhan hutan, karena memudahkan
pengawasannya.
Kebun-kebun pekarangan (home-garden) memadukan
berbagai sumber daya tanaman asal hutan dengan jenis-jenis tanaman eksotik
yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, seperti buah-buahan, sayuran dan
tanaman untuk penyedia bumbu dapur (Bhs. Jawa:
empon-empon), tanaman
obat, serta jenis tanaman yang diyakini memiliki kegunaan gaib.
Contohnya, menurut kepercayaan di Jawa ranting pohon kelor (Moringa pterygosperma
Gaerttn.) dapat digunakan untuk menghilangkan kekebalan seorang yang ber-
’ilmu’.
Ranting bambu kuning dapat digunakan untuk mengusir ular dan sebagainya.
Seperti telah disebutkan di atas, kebun pekarangan di Jawa memadukan
tanaman bermanfaat asal hutan dengan tanaman khas pertanian. Semakin banyak campur tangan manusia membuat kebun itu menjadi semakin artifisial
(sistem buatan yang tidak alami). Kekhasan vegetasi hutan seringkali masih bisa ditemukan, misalnya dapat dijumpai berbagai jenis tumbuhan bawah
seperti berbagai macam pakis (fern), atau epifit (misalnya anggrek liar). Kekayaan jenisnya bervariasi, beberapa pekarangan yang tidak terlalu banyak campur tangan pemiliknya memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi, yang
dapat mencapai lebih dari 50 jenis tanaman pada lahan seluas 400 m2 (Karyono,
1979; Michon, 1985). Bila diperhatikan dari struktur kanopi tajuknya, kebun-
kebun itu memiliki lapisan/strata tajuk bertingkat (multi-strata) mirip dengan yang dijumpai di hutan. Kemiripan kanopi hutan dengan agroforest sulit dibedakan melalui teknik foto udara.
Tingkat lapisan tajuk vegetasi agroforest dapat dibedakan menjadi 3 sampai 5 tingkat, mulai dari lapisan semak (sayuran, cabai, umbi-umbian), perdu
(pisang, pepaya, tanaman hias) hingga lapisan pohon tinggi (sampai lebih 35 m,
misalnya damar, durian, duku). Proses reproduksi sistem yang menyerupai
hutan ini lebih banyak mengikuti kaidah alam daripada teknik-teknik budidaya perkebunan. Sebagai contoh, kasus terbentuknya damar agroforest di Krui.
Mengapa agroforest perlu mendapat perhatian?
Kebun-kebun agroforest asli Indonesia memperlihatkan ciri-ciri yang pantas diberi perhatian dalam rangka pembangunan pertanian dan kehutanan, khususnya untuk daerah-daerah rawan secara ekologis (kurang subur, terlalu
curam, terlalu berbatu). Lahan
tersebut tidak cocok untuk pertanian dan
seharusnya tertutup rapat seperti hutan. Di daerah-daerah tersebut hanya tanaman tahunan saja yang dapat berproduksi secara berkelanjutan, sedangkan untuk tanaman pangan dan tanaman musiman lain hanya dimungkinkan
dengan investasi yang sangat besar (penyediaan pupuk dan pembangunan fisik
pengendali erosi). Manfaat penerapan sistem agroforest ditinjau dari beberapa
pihak atau sudut pandang: (1) pertanian, (2) petani, (3) peladang, (4)
kehutanan.
Sudut pandang pertanian
Agroforest merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat- guna, sesuai dengan keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial khususnya tanaman semusim, menuntut terjadinya perubahan sistem produksi
secara total menjadi sistem monokultur dengan masukan energi, modal, dan tenaga kerja dari luar yang relatif besar yang tidak sesuai untuk kondisi petani. Selain itu, percobaan-percobaan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi standar yang berbeda
dari keadaan yang lazim dihadapi petani. Tidak mengherankan bila banyak
hasil percobaan mengalami kegagalan pada tingkat petani.
Agroforest mempunyai
fungsi
ekonomi
penting
bagi
masyarakat setempat. Peran utama agroforest bukan sebagai
penghasil bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil pemasukan uang dan modal. Misalnya: kebun
damar, kebun karet dan kebun kayu manis menjadi andalan pemasukan modal
di Sumatera. Bahkan, agroforest seringkali menjadi satu-satunya sumber uang tunai bagi keluarga petani. Agroforest mampu menyumbang 50%
hingga 80% pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produksi langsung maupun
tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pemrosesan dan pemasaran hasilnya.
Di lain pihak sistem-sistem produksi asli setempat (salah satunya agroforest) selalu dianggap sebagai sistem yang hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri saja (subsisten). Oleh karena itu, bentuk dukungan terhadap
pertanian komersial petani kecil biasanya diarahkan kepada upaya penataan
kembali sistem produksi secara keseluruhan. Pendekatan terpadu untuk
mengembangkan sistem-sistem yang sudah ada masih sangat kurang, karena umumnya dianggap hanya sebagai "kebun dapur" yang tidak lebih dari sekedar pelengkap sistem pertanian lainnya, di mana produksinya hanya dikhususkan
untuk konsumsi sendiri dengan menghasilkan hasil-hasil sampingan seperti kayu bakar. Oleh karena itu, sistem ini kurang mendapat perhatian.
Sudut pandang petani
Keunikan konsep pertanian komersial agroforest adalah karena sistem ini
bertumpu pada keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies saja. Usaha memperoleh produksi komersial ternyata sejalan dengan produksi dan fungsi lain yang lebih luas. Hal ini menimbulkan beberapa konsekuensi menarik bagi petani.
Aneka hasil kebun hutan sebagai "bank" yang sebenarnya. Pendapatan dari
agroforest umumnya dapat menutupi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara teratur misalnya lateks karet, damar, kopi, kayu manis dan lain-lain.
Selain itu, agroforest juga dapat membantu
menutup pengeluaran tahunan dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti buah-buahan, cengkeh, pala, dan lain-lain. Komoditas- komoditas lain seperti kayu bahan bangunan juga dapat menjadi sumber uang yang cukup besar meskipun tidak tetap, dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Di beberapa daerah di Indonesia
menabung uang tunai masih belum merupakan kebiasaan, maka keragaman bentuk sumber uang sangatlah penting. Keluwesan agroforest juga penting di
daerah-daerah di mana kredit sulit didapatkan karena mahal atau tidak ada
sama sekali. Semua ini adalah kenyataan umum yang dijumpai di pedesaan di
daerah tropis.
Struktur yang tetap dengan diversifikasi tanaman komersial, menjamin keamanan dan kelenturan pendapatan petani, walaupun sistem ini tidak memungkinkan adanya akumulasi modal secara cepat dalam bentuk aset-aset yang dapat segera diuangkan.
Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau risiko perkembangan
pasar yang sulit diperkirakan.
Jika terjadi kemerosotan harga satu komoditas,
spesies ini dapat dengan mudah ditelantarkan saja, hingga suatu saat pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak menimbulkan gangguan ekologi terhadap sistem kebun. Petak kebun tetap utuh dan
produktif dan spesies yang ditelantarkan akan tetap hidup dalam struktur kebun, dan selalu siap untuk kembali dipanen sewaktu-waktu. Sementara itu
spesies-spesies baru dapat diperkenalkan tanpa merombak sistem produksi yang ada.
Ciri keluwesan yang lain adalah perubahan nilai ekonomi yang mungkin
dialami beberapa spesies. Spesies yang sudah puluhan tahun berada di dalam kebun dapat tiba-tiba mendapat nilai komersil baru akibat evolusi pasar, atau
pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan baru.
Hal seperti ini telah terjadi pada buah durian, duku, dan cengkeh serta terakhir kayu ketika kayu dari hutan alam menjadi langka.
Melalui diversifikasi hasil-hasil sekunder, agroforest menyediakan kebutuhan sehari-hari petani. Agroforest juga berperan sebagai "kebun dapur" yang
memasok bahan makanan pelengkap (sayuran, buah, rempah, bumbu).
Melalui keanekaragaman tumbuhan, agroforest dapat menggantikan peran
hutan alam dalam menyediakan hasil-hasil yang akhir-akhir ini semakin langka
dan mahal seperti kayu bahan bangunan, rotan, bahan atap, tanaman obat, dan binatang buruan.
Sudut pandang peladang
Kebutuhan tenaga kerja rendah
Agroforest merupakan model peralihan dari perladangan berpindah ke
pertanian menetap yang berhasil, murah, menguntungkan dan lestari. Meskipun menurut standar konvensional produktivitasnya dianggap rendah,
bila ditinjau dari sisi alokasi tenaga kerja yang dibutuhkan , agroforest lebih menguntungkan dibandingkan sistem pertanian monokultur. Penilaian bahwa
produktivitas agroforest rendah, disebabkan kesalahpahaman terhadap sistem
yang dikembangkan petani. Hal ini karena umumnya hanya tanaman utama yang diperhitungkan sementara hasil-hasil dan fungsi ekonomi lain diabaikan. Pembuatan dan pengelolaan agroforest hanya membutuhkan nilai investasi dan alokasi tenaga kerja yang kecil.
Hal ini sangat penting terutama untuk daerah-
daerah yang ketersediaan tenaga kerja dan uang tunai jauh lebih terbatas
daripada ketersediaan lahan, seperti yang umum terjadi di wilayah-wilayah perladangan berpindah di daerah beriklim tropis basah.
Tidak memerlukan teknik canggih
Selain manfaat ekonomi, perlu juga dijelaskan beberapa ciri penting lain yang membantu pemahaman terhadap hubungan positif antara peladang berpindah
dan
agroforest. Pembentukan agroforest berhubungan langsung dengan
kegiatan perladangan berpindah.
Bentuk ladang berpindah mengalami
perkembangan dengan adanya penanaman pohon yang oleh penduduk setempat dikenal bernilai ekonomi tinggi. Tindakan yang sangat sederhana ini
dapat dilakukan oleh peladang berpindah di semua daerah tropis basah.
Agroforest ini dapat dikelola tanpa teknologi yang canggih, tetapi bertumpu
sepenuhnya pada pengetahuan tradisional peladang mengenai lingkungan hutan mereka. Hasilnya, terdapat perbedaan yang sangat nyata antara sistem
agroforest yang lebih menetap dengan sistem peladangan berpindah yang biasanya melibatkan pemberaan dan membuka lahan pertanian baru di tempat
lain. Ladang-ladang yang diberakan untuk sementara waktu, selanjutnya
ditanami kembali dengan pepohonan untuk diwariskan pada generasi berikutnya. Kedudukan komersil tanaman pohon dan nilai ekonomisnya
sebagai modal dan harta warisan dapat mencegah terjadinya pembukaan
ladang-ladang baru, dengan demikian lahan tersebut menjadi terbebas dari
ancaman perladangan berpindah lainnya.
Sudut pandang kehutanan
Mekanisme sederhana untuk mengelola keanekaragaman
Seperti halnya pada semua lahan pertanian, sebagian terbesar agroforest
tercipta melalui tindakan penebangan dan pembakaran hutan. Perbedaan agroforest dengan budidaya pertanian pada umumnya terletak pada tindakan
yang dilakukan pada tumbuhan perintis yang berasal dari hutan. Pada
budidaya pertanian, keberadaan tumbuhan perintis alami dianggap sebagai gulma yang mengancam produksi tanaman pokok. Pada sistem agroforest, petani tidak melakukan pembabatan hutan kembali, karena mereka menggunakan ladang sebagai lingkungan pendukung proses pertumbuhan
pepohonan. Proses pembentukan agroforest seperti ini masih dapat dijumpai di Sumatera, antara lain di Pesisir Krui (Propinsi Lampung) untuk agroforest
damar, di Jambi untuk agroforest karet. Oleh karena pada sistem agroforest tidak melibatkan penyiangan intensif, maka kembalinya spesies-spesies perintis dapat mempertahankan sebagian spesies-spesies asli hutan.
Pengembangan hasil hutan non-kayu
Sejak tahun 1960-an bentuk pengelolaan hutan yang dikembangkan terpaku
pada
produksi kayu gelondongan. Kayu gelondongan merupakan unsur dominan hutan yang relatif sulit dan memerlukan waktu lama untuk diperbaharui. Eksploitasinya yang berbasis tegakan bukan individu pohon, mengakibatkan degradasi drastis seluruh ekosistem hutan. Hal ini
memunculkan suatu usulan agar pihak-pihak kehutanan dalam arti luas lebih
mengalihkan perhatiannya pada hasil hutan non-kayu (disebut juga hasil hutan
minor) misalnya damar, karet remah dan lateks, buah-buahan, biji-bijian, kayu-
kayu harum, zat pewarna, pestisida alam, dan bahan kimia untuk industri obat.
Agroforest di Indonesia, yang bertumpu pada hasil hutan non-kayu, merupakan salah satu alternatif menarik terhadap domestikasi monokultur
yang lazim dikerjakan. Pengelolaan agroforest tidak ekslusif pada satu sumber
daya yang terpilih saja, tetapi memungkinkan kehadiran sumber daya lain yang
mungkin tidak bermanfaat langsung bagi masyarakat.
Selain itu membangun
agroforest merupakan strategi masyarakat sekitar hutan untuk memiliki
kembali sumber daya hutan yang pernah hilang atau terlarang bagi mereka. Agroforest memungkinkan adanya pelestarian wewenang dan tanggung jawab masyarakat setempat atas seluruh sumber daya hutan. Hal ini merupakan sifat
utama agroforest yang
bisa menjadi peluang utama bagi pengembangan sistem agroforest oleh badan-badan pembangunan resmi terutama kalangan kehutanan yang selama ini masih tetap khawatir akan kehilangan kewenangan menguasai sumber daya yang selama ini dianggap sebagai domain ekslusif mereka.
Kelemahan dan Tantangan Agroforest
Kelemahan
Kesulitan visual
Keberagaman bentuk, kemiripan dengan vegetasi hutan alam, dan kesulitan
membedakannya dalam penginderaan jauh (remote sensing) menjadikan
bentang lahan agroforest sulit dikenali. Kebanyakan agroforest dalam peta-peta
resmi diklasifikasikan sebagai hutan sekunder, hutan rusak, atau belukar, oleh
karena itu biasanya disatukan ke dalam kelompok lahan yang menjadi target rehabilitasi lahan dan hutan.
Dalam kenyataannya di lapangan, seringkali agroforest sukar dibedakan dari
“hutan rakyat”, walaupun intensitas pemeliharaan yang dilakukan pada agroforest nampaknya lebih nyata daripada pemeliharaan hutan rakyat.
Kesulitan mengukur produktivitas
Ahli ekonomi pertanian terbiasa dengan perhatian hanya kepada jenis tanaman dan pola penanaman yang teratur rapi. Biasanya mereka enggan memberi perhatian terhadap nilai pepohonan dan tanaman non-komersial (apalagi nilai
yang sifatnya sulit terukur/intangible, seperti konservasi dan jasa lingkungan
lainnya). Mereka juga biasanya tidak memiliki latar belakang yang cukup
untuk mengenali manfaat ekonomi spesies pepohonan dan herbal/semak.
Rimbawan terbiasa dengan memperlakukan pohon dalam satuan tegakan sedangkan dalam agroforestri diperlukan penanganan pohon secara individual. Keahlian memperlakukan pohon secara indivual adalah kelebihan seorang
agroforester yang tidak dimiliki oleh rimbawan.
Sebagai contoh keahlian
menebang sebuah pohon di antara pohon-pohon lainnya tanpa banyak
merusak tetangganya adalah salah satu ciri dari sistem silvikultur agroforestri yang berbeda dengan sistem silvikultur kehutanan tradisional.
Kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan pohon pada lahan pertanian
Adanya penyisipan pohon di antara tanaman semusim, akan menimbulkan masalah yang sering merugikan petani karena kurangnya pengetahuan petani akan adanya interaksi antar tanaman (lihat Bahan Ajaran 4 oleh Suprayogo
dkk). Tidak sedikit petani yang masih beranggapan, bahwa menanam pohon
pada lahan usaha mereka akan mengurangi produktivitas panen pertaniannya.
Kondisi ini diperparah dengan kurangnya pemahaman para penyuluh lapangan pertanian akan fungsi pohon dalam agroforestri, baik yang berkaitan
dengan total dan keberlanjutan produksi lahan.
Ancaman Keberlanjutan (dikutip
dari de Foresta et
al., 2000)
Kesulitan merubah pandangan ahli agronomi dan kehutanan
Besarnya jenis dan ketidakteraturan tanaman dalam agroforest membuatnya
cenderung diabaikan. Kebanyakan ahli pertanian dan kehutanan yang sudah
sangat terbiasa dengan keteraturan sistem monokultur dan agroforestri sederhana menganggap ketidakteraturan dan keberagaman tanaman ini sebagai tanda kemalasan petani. Kebanyakan ahli agronomi dan kehutanan
yang akrab dengan pola pertanian sederhana dan keaslian hutan alam masih
sulit untuk mengakui bahwa agroforest adalah sistem usaha tani yang produktif.
Salah satu kesulitan bagi seorang rimbawan dalam mengelola sistem agroforest
di
lahan hutan adalah lebih rumitnya metode yang dipakai dalam penaksiran hasil daripada pekerjaan rutinnya yang relatif lebih sederhana. Di samping itu, rimbawan tidak terbiasa untuk bekerja /berinteraksi langsung dengan
masyarakat dalam semangat kemitraan, partisipatif, dan paradigma yang berbeda.
Agroforest adalah sistem kuno (tidak modern)
Banyak kalangan memandang agroforest sebagai sesuatu yang identik dengan
pertanian primitif yang terbelakang, sama sekali tidak patut dibanggakan. Padahal, agroforest merupakan wujud konsep petani, proses adaptasi dan inovasi yang terus menerus yang berkaitan dengan perubahan ekologi,
keadaan sosial ekonomi, dan perkembangan pasar. Sistem agroforest yang ada saat ini
merupakan karya modern dari sejarah panjang adaptasi dan inovasi, uji coba
berulang-ulang, pemaduan spesies baru dan strategi agroforestri baru.
Orang sering membenturkan antara teori “ilmiah” modern dengan
pengetahuan tradisional yang sudah teruji secara lokal yang dianggap kuno.
Bekerja dalam agroforestri orang akan mendapat kesempatan yang tanpa batas untuk melakukan pendalaman ulang (refining) teori umumnya, yang pada hakekatnya merupakan hasil generalisasi ilmiah dengan pengetahuan
tradisional yang dijumpainya di lapangan. Bila sampai pada kesimpulan,
mereka masih membenturkan kedua pengetahuan itu berarti mereka sendiri
belum arif dan sebagai ilmuwan boleh dikatakan “masih mentah”.
Kepadatan penduduk
Pengembangan agroforest membutuhkan ketersediaan luasan lahan, karenanya
agroforest sulit berkembang di daerah-daerah yang sangat padat
penduduknya. Ada kecenderungan bahwa peningkatan penduduk menyebabkan konversi lahan agroforest ke bentuk penggunaan lain yang lebih menguntungkan dalam jangka pendek.
Penguasaan lahan
Luas agroforest di Indonesia mencapai jutaan hektar, tetapi tidak secara resmi
termasuk ke dalam salah satu kategori penggunaan lahan.
Hampir semua
petani agroforest tidak memiliki bukti kepemilikan yang resmi atas lahan
mereka. Banyak areal agroforest yang dinyatakan berada di dalam kawasan
hutan negara, atau dialokasikan kepada perusahaan perkebunan besar dan proyek pembangunan besar lainnya. Ketidakpastian kepemilikan jangka ini berakibat keengganan petani untuk melanjutkan sistem pengelolaan yang sekarang sudah mereka bangun.
Ketiadaan
data akurat
Kecuali untuk agroforest karet dan sebagian kecil lainnya, belum ada upaya
serius untuk mendapatkan data yang akurat mengenai keberadaan/luasan agroforest yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Indonesia.
Akibatnya, belum ada upaya untuk memberikan dukungan pembangunan terhadap agroforest tersebut, seperti yang diberikan terhadap sawah, kebun monokultur
(cengkeh, kelapa, kopi, dan lain-lain), atau Hutan Tanaman Industri (HTI).
Egosektoral
Pengembangan agroforestri menuntut adanya kerjasama yang baik antara
kehutanan dan pertanian (dalam arti luas).
Akan tetapi, khususnya di
Indonesia, terjadi pembagian administrasi yang sangat jelas antara sektor pertanian dan kehutanan. Meskipun dari sisi pengetahuan dan semangat
untuk mengembangkan agroforestri di masing-masing sektor sangat besar, kesulitan sering terjadi pada taraf implementasinya (mulai dari perencanaan
hingga pelaksanaannya di lapangan).
Hal tersebut karena kesulitan
melaksanakan koordinasi antar berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda, yang terkait dengan kebijakan pembagian kewenangan dan
tanggung jawab teknis dan finansial. Padahal di sisi lain, untuk membentuk
agroforestri menjadi sektor dan memiliki departemen sendiri sangat tidak dimungkinkan. Kondisi ini mengakibatkan pengembangan agroforestri hingga saat ini lebih banyak berhasil dalam konteks penelitian dan uji-coba pada skala yang terbatas.
Keberhasilan itupun juga belum optimal, karena tidak adanya
dukungan kebijakan yang diperlukan, tidak terkecuali pada fase pasca panen dan pemasaran dari keseluruhan produk yang dihasilkan.