Sejarah dan Perkembangan Agroforestri
Umum
Walaupun manusia seringkali dicap sebagai perusak lingkungan atau perusak
hutan, tetapi campur tangan manusia seringkali mampu mengubah areal yang
tidak produktif menjadi produktif walaupun dengan jalan merubah komunitas
yang dalam kondisi seimbang atau klimaks menjadi sub-klimaks. Menurut Bruenig (1986), klimaks sebenarnya adalah tahap akhir dari perkembangan
kelompok vegetasi, baik melalui suksesi primer atau sekunder, pada kondisi lingkungan yang ada. Klimaks hanyalah produk ekologi bukan tahap optimal
untuk produktivitas maksimal, sehingga produktivitas maksimal justru
seringkali dicapai pada tahap sub-klimaks.
Dalam kondisi seimbang,
pertumbuhan senantiasa dinetralisir dengan kematian.
Pada hutan hujan
tropis, kondisi klimaks di bawah temperatur yang cukup tinggi mengakibatkan
sebagian besar dari hasil fotosintesa (sekitar 80%) diuapkan kembali.
Komunitas klimaks seringkali dicirikan dengan tingkat diversitas atau indeks
diversitas yang tinggi.
Setiap bentuk pertanian merupakan usaha mengubah ekosistem tertentu untuk menaikkan arus energi ke manusia (Geertz, 1983).
Pada kebanyakan masyarakat tradisional, usaha tersebut seringkali dilakukan tanpa mengubah (secara total) indeks diversitas komunitas aslinya.
Keseluruhan pola komposisi komunitas biotis yang ada dipertahankan dan hanya mengubah bagian-bagian
tertentu saja, yaitu dengan memasukkan jenis-jenis yang disukai atau
dibutuhkan.
Uraian di atas menjadi salah satu dari beberapa faktor kunci mengenai konsep pengembangan agroforestri.
Walaupun demikian, pemikiran tentang
pengkombinasian komponen kehutanan dengan pertanian sebenarnya bukan
merupakan hal yang baru. Pohon-pohon telah dimanfaatkan dalam sistem pertanian sejak pertama kali aktivitas bercocok tanam dan memelihara ternak
dikembangkan. Dengan demikian hal baru menyangkut agroforestri hanyalah istilahnya.
Berikut akan diuraikan lebih mendalam tentang fase-fase perkembangannya.
Fase agroforestri klasik
Sekitar tahun 7000 SM terjadi perubahan budaya manusia dalam mempertahankan eksistensinya dari pola hidup berburu (hunting) dan
mengumpulkan makanan (food gathering) ke cara bercocok tanam dan beternak
(plants and animals domestication). Sebagai bagian dari proses ini mereka menebang pohon, membakar seresah dan selanjutnya melakukan budidaya tanaman. Dari sini lahirlah sistem pertanian tebas (tebang) bakar yang merupakan awal dari agroforestri (MacDicken dan Vergara, 1990; Swaminathan, 1987).
Praktek tebas bakar atau perladangan ini tidak saja berkembang di daerah
tropis, tetapi juga di Eropa. Di Jerman hingga awal abad 20 masih dijumpai
praktek pertanian seperti perladangan (perladangan berpindah) yang kita kenal di daerah tropis.
Sebelum meninggalkan areal pertanian tersebut (dan bahkan seringkali setelah menanam tanaman pertanian) dilakukan penanaman pohon- pohonan (King, 1987).
Perladangan bukanlah satu-satunya sistem agroforestri klasik yang dikenal. Menurut Wiersum (1982; 1987) praktek agroforestri, baik yang tradisional maupun yang secara ilmiah dikembangkan saat ini dimulai dari sistem berkebun (gardening) yang banyak dijumpai di daerah Asia Tropis, misalnya
sistem kebun hutan dan kebun pekarangan (forest and home gardens) masyarakat asli di Kalimantan Timur (Sardjono, 1990). Praktek berkebun semacam itu kemungkinan besar dimulai dari tanaman yang tumbuh spontan dari biji-biji
yang dibuang di lahan-lahan pertanian sekitar tempat tinggal atau mempertahankan/memelihara pohon-pohon dan permudaan yang sudah ada.
Baru pada perkembangan selanjutnya dilakukan budidaya penanaman.
Sistem berkebun semacam itu ternyata tidak saja dijumpai di daerah tropis di Asia, akan tetapi juga di Amerika Latin dan Afrika (a.l. lihat Padoch dan de
Jong, 1987; Okafor dan Fernandes, 1987). Hal yang menarik, sistem berkebun
tersebut umumnya berhubungan erat dengan praktek perladangan (Sardjono,
1990: Soemarwoto, et.al., 1985). Tradisi pemeliharaan pepohonan dalam bentuk
kebun pada areal perladangan, pekarangan dan tempat-tempat penting lainnya oleh masyarakat tradisional itu dikarenakan nilai-nilainya yang dirasakan
tinggi sejak manusia hidup dalam hutan.
Pra-agroforestri modern
Pada akhir abad XIX, pembangunan hutan tanaman (pepohonan sengaja ditanam - man-made forest) menjadi tujuan utama. Agroforestri dipraktekkan
sebagai sistem pengelolaan lahan. Pada pertengahan 1800-an dimulai
penanaman jati (Tectona grandis - Verbenaceae) di sebuah daerah di Birma oleh
Sir Dietrich Brandis (seorang rimbawan Jerman yang bekerja untuk Kerajaan Inggris). Penanaman jati dilakukan melalui sistem “Taungya” (Taung = bukit;
ya
= budidaya), diselang-seling atau dikombinasikan dengan tanaman pertanian (tanaman pangan semusim). Kelebihan dari sistem ini bukan saja dapat menghasilkan bahan pangan, tetapi juga dapat mengurangi biaya pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman yang memang sangat mahal. Kesuksesan sistem ini mendorong penyebarannya semakin luas, tidak saja ke
seluruh Birma (1867), akan tetapi juga ke daerah-daerah jajahan Inggris lainnya,
a.l. Afrika Selatan (1887), India (1890) dan Bangladesh (1896) (King, 1987; Lowe,
1987; MacDicken dan Vergara, 1990). Sistem taungya diperkenalkan untuk pertama kalinya di Indonesia oleh Pemerintah Kolonial Belanda dalam rangka
pengelolaan hutan jati juga sekitar akhir abad XIX.
Selanjutnya taungya dikenal di Indonesia sebagai sistem tumpangsari. Banyak ahli yang berpendapat bahwa
sistem taungya adalah cikal bakal agroforestri modern.
Agroforestri klasik atau tradisional sifatnya lebih polikultur dan lebih besar manfaatnya bagi masyarakat setempat dibandingkan agroforestri modern
(Thaman, 1988). Agroforestri modern hanya melihat kombinasi antara tanaman
keras atau pohon komersial dengan tanaman sela terpilih. Dalam agroforestri modern, tidak terdapat lagi keragaman kombinasi yang tinggi dari pohon yang
bermanfaat atau juga satwa liar yang menjadi bagian terpadu dari sistem
tradisional.
Dalam perkembangan sistem taungya selama lebih dari seratus tahun sejak
diperkenalkan (periode 1856 hinga pertengahan 1970-an), hanya sedikit atau bahkan sama sekali tidak ada perhatian terhadap komponen pertanian, petani ataupun produk-produknya. Pada saat itu sistem taungya memang dirancang
dan
dilakukan melulu untuk kehutanan saja.
Tidak heran bila waktu itu ada yang berpendapat, bahwa di beberapa bagian dunia, masyarakat setempat telah
dieksploitasi untuk kepentingan kehutanan.
Kesuksesan sistem taungya
dikatakan karena adanya masyarakat yang ‘lapar tanah’ (akibat dari keterbatasan penguasaan lahan dibandingkan dengan jumlah penduduk yang sangat tinggi), pengangguran dan kemiskinan (King, 1987). Dengan kata lain, keikutsertaan masyarakat dalam sistem taungya pada waktu itu lebih banyak
disebabkan keadaan atau keterpaksaan, bukan keuntungan yang dapat
diperolehnya.
Pada waktu itu jarang sekali disinggung oleh para ahli tentang aspek positif
konservasi tanah dari pelaksanan sistem taungya. Tujuan taungya hanyalah
pembangunan hutan (dengan pemikiran bahwa keberadaan hutan dapat melindungi produktivitas tanah) dan mengeluarkan petani secepatnya dari
hutan.
Sedangkan problema pengaruh manusia terhadap erosi tanah tidak pernah terlintas dalam pemikiran rimbawan pada waktu itu (King, 1987). Pada
waktu itu, ada empat pertimbangan dalam kaitannya dengan hal tersebut:
1. Hutan negara dianggap tidak bisa diganggu gugat.
2. Ancaman/gangguan terhadap kawasan hutan sebagian besar dianggap berasal dari para petani, khususnya melalui praktek perladangan
berpindah.
3. Ada anggapan bahwa lebih menguntungkan mengganti hutan-hutan alam
yang terlantar atau yang kurang menghasilkan dengan hutan tanaman.
4. Pembangunan hutan tanaman merupakan niaga yang mahal, khususnya
karena masa pemeliharaan yang lama.
Oleh karenanya filosofi yang ada pada waktu itu adalah pembangunan hutan
tanaman dengan memanfaatkan tenaga kerja dari para tuna karya dan tuna lahan yang ada.
Sebagai imbalan, mereka diperkenankan memanfaatkan lahan- lahan di sela-sela anakan tanaman kehutanan untuk bercocok tanam atau
aktivitas pertanian. Penjabaran selanjutnya dari sistem taungya tentu saja berbeda di masing-masing negara atau dari satu daerah ke daerah lainnva.
Akan tetapi apa yang diuraikan di atas adalah gambaran umum dan
merupakan asal mula konsep sistem taungya.
Agroforestri modern
Sejak awal tahun 70-an ada pendapat akan pentingnya peran pepohonan dalam
mengatasi berbagai problema petani kecil dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, khususnya kebutuhan bahan pangan. Tujuan peningkatan produksi pangan melalui program "Revolusi Hijau" yang dilaksanakan pada waktu itu
memang dapat dicapai.
Akan tetapi sebagian besar petani tidak punya cukup modal untuk dapat berpartisipasi dalam program tersebut, karena besarnya
biaya untuk irigasi, pemupukan, pestisida dan bahkan untuk penyediaan
lahannya sendiri. Selain itu status kepemilikan lahan sebagian petani masih belum pasti.
Sementara itu permasalahan penciutan kawasan hutan akibat peningkatan
jumlah penduduk dan sebab-sebab lainnya juga menuntut diperolehnya jawaban yang tepat. Inilah yang mendorong Bank Dunia (World Bank) untuk
menggalakkan Program-Program Perhutanan-Sosial (social forestry), yang dalam pelaksanaannya dirancang khusus untuk peningkatan produksi pangan dan
konservasi lingkungan tanpa mengabaikan kepentingan pihak kehutanan
untuk tetap dapat memproduksi dan memanfaatkan kayu.
Pertengahan tahun 70-an juga ditandai dengan perubahan kebijakan Organisasi Pangan dan Pertanian se-Dunia (FAO), yaitu dengan penetapan Direktur Jenderal Kehutanan dalam struktur organisasinya. Program-program "Kehutanan untuk Pembangunan, Masyarakat Pedesaan" (Forestry for Fural Development) digalakkan melalui sejumlah seminar atau lokakarya.
Puncak dari perubahan kebijakan FAO adalah pada Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 tahun
1978 di Jakarta, di mana tema pokok yang dipilih adalah "Forests for People atau
"Hutan untuk Kesejahteraan Masyarakat" dan penetapan kelompok diskusi
khusus "Forestry for Rural Communities" (Kehutanan untuk Masyarakat
Pedesaan).
Tumbuhnya agroforestri modern tidak lepas dari studi yang dibiayai oleh Pusat
Penelitian Pembangunan International (International Development Reseacrh
Centre) Canada (Bene et al., 1977). Dalam hasil studi dengan judul "Trees, Food and People: Land Management in the Tropics" (Hutan, Bahan Pangan dan
Masyarakat: Pengelolaan Lahan di Wilayah Tropis) telah direkomendasikan
pentingnya penelitian-penelitian Agroforestri. Pada tahun 1977 dibentuk Badan International yang menangani penelitian dalam bidang agroforestri
bernama ICRAF singkatan dari International Council for Research in Agroforestry (yang pada mulanya berpusat di Royal Tropical Institute, Amsterdam, sebelum dipindahkan ke Nairobi 1978), dan pada tahun 1990 berubah menjadi International Centre for Research in Agroforestri. Akhirnya pada awal bulan
Agustus tahun 2002, namanya berubah menjadi ‘World Agroforestry Centre, ICRAF’. Kantor pusat ICRAF ini terletak di Nairobi (Kenya), dan kegiatannya
dilakukan di Afrika, Amerika Latin dan Asia Tenggara.
Hasil pemikiran dan kajian oleh berbagai pihak tersebut melahirkan konsep-
konsep dan pendekatan baru agroforestri. Pendekatan dan pandangan terhadap agroforestri mulai berubah, khususnya para ilmuwan dan ahli dari bidang kehutanan maupun pertanian.
0 Comment to "Sejarah dan Perkembangan Agroforestri"
Posting Komentar