Kamis, 19 November 2015

Undang-Undang Tentang Kehutanan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG
KEHUTANAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,  
Menimbang : 
a.   bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang
dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh
Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib
disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi
mendatang; 
b.   bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber
kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu
keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara
lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional,
serta bertanggung-gugat; 
c.   bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus
menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta
tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional; 
d.   bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8) sudah tidak sesuai lagi
dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan
keadaan, sehingga perlu diganti; 
e.   bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d
perlu ditetapkan undang-undang tentang Kehutanan yang baru. 
Mengingat : 
1.   Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945; 
2.   Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia; 
3.   Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2034); 
4.   Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3419); 
5.   Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501); 
6.   Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3699); 
7.   Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839). 
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEHUTANAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 
1.   Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. 
2.   Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 
3.   Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. 
4.   Hutan negara adalah hutan yang berada pa da tanah yang tidak dibebani hak atas
tanah. 
5.   Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. 
6.   Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum
adat. 
7.   Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan. 
8.   Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan
tanah. 
9.   Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai
fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya.  
10. Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem
penyangga kehidupan. 
11. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 
12. Taman buru adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata berburu. 
13. Hasil hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang
berasal dari hutan. 
14. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat. 
15. Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang
kehutanan. 
Bagian Kedua
Asas dan Tujuan
Pasal 2
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan,
kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.
Pasal 3
Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang
berkeadilan dan berkelanjutan dengan: 
a.   menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang
proporsional; 
b.   mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi
lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya,
dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; 
c.   meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; 
d.   meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan
masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga
mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat
perubahan eksternal; dan 
e.   menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. 
Bagian Ketiga
Penguasaan Hutan
Pasal 4
(1) Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara  untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2) Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi
wewenang kepada pemerintah untuk: 
a.   mengatur dan mengurus segala sesuatu  yang berkaitan dengan hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan; 
b.   menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan
sebagai bukan kawasan hutan; dan 
c.   mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan,
serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. 
(3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui  keberadaannya, serta tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional.
BAB II
STATUS DAN FUNGSI HUTAN
Pasal 5
(1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: 
a.   hutan negara, dan 
b.   hutan hak. 
(2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ay at (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.
(3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
(4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada
lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.
Pasal 6
(1) Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu: 
a.   fungsi konservasi, 
b.   fungsi lindung, dan 
c.   fungsi produksi. 
(2) Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut: 
a.   hutan konservasi, 
b.   hutan lindung, dan 
c.   hutan produksi. 
Pasal 7
Hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri dari: 
a.   kawasan hutan suaka alam, 
b.   kawasan hutan pelestarian alam, dan 
c.   taman buru. 
Pasal 8
(1) Pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus.
(2) Penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperlukan untuk kepentingan umum seperti: 
a.   penelitian dan pengembangan, 
b.   pendidikan dan latihan, dan 
c.   religi dan budaya. 
(3) Kawasan hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak
mengubah fungsi pokok kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 9
(1) Untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air, di setiap kota
ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB III
PENGURUSAN HUTAN
Pasal 10
(1) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, bertujuan
untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besar nya serta serbaguna dan lestari untuk
kemakmuran rakyat.
(2) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan
penyelenggaraan: 
a.   perencanaan kehutanan, 
b.   pengelolaan hutan, 
c.   penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan,
dan 
d.   pengawasan. 
BAB IV
PERENCANAAN KEHUTANAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 11
(1) Perencanaan kehutanan dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang
menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3.
(2) Perencanaan kehutanan dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif,
terpadu, serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah.
Pasal 12
Perencanaan kehutanan sebagaimana dimaksud dala m Pasal 10 ayat (2) huruf a, meliputi: 
a.   inventarisasi hutan, 
b.   pengukuhan kawasan hutan, 
c.   penatagunaan kawasan hutan, 
d.   pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan 
e.   penyusunan rencana kehutanan. 
Bagian Kedua
Inventarisasi Hutan
Pasal 13
(1) Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi
tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap.
(2) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan survei
mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta
kondisi sosial masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.
(3) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari: 
a.   inventarisasi hutan tingkat nasional, 
b.   inventarisasi hutan tingkat wilayah, 
c.   inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai, dan 
d.   inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan. 
(4) Hasil inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
antara lain dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca
sumber daya hutan, penyusunan rencana kehutanan, dan sistem informasi kehutanan.
(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pengukuhan Kawasan Hutan
Pasal 14
(1) Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah
menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan.
(2) Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.
Pasal 15
(1) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana di maksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui
proses sebagai berikut: 
a.   penunjukan kawasan hutan, 
b.   penataan batas kawasan hutan, 
c.   pemetaan kawasan hutan, dan 
d.   penetapan kawasan hutan. 
(2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan rencana tata ruang wilayah.
Bagian Keempat
Penatagunaan Kawasan Hutan
Pasal 16
(1) Berdasarkan hasil pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
dan Pasal 15, pemerintah menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan.
(2) Penatagunaan kawasan hutan meliputi  kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan
kawasan hutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan
Pasal 17
(1) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat: 
a.   propinsi, 
b.   kabupaten/kota, dan 
c.   unit pengelolaan. 
(2) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan
mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran
sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat
hukum adat dan batas administrasi pemerintahan.
(3) Pembentukan unit pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi pemerintahan
karena kondisi dan karakteristik serta tipe hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh
Menteri.
Pasal 18
(1) Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan
penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi
manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
(2) Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan
sebaran yang proporsional.
Pasal 19
(1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan
didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
(2) Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh
Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi
kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Keenam
Penyusunan Rencana Kehutanan
Pasal 20
(1) Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dan dengan

mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan dan kondisi sosial masyarakat, pemerintah..............


ƒ   PENDAHULUAN 
ƒ   BAB I, KETENTUAN UMUM 
ƒ   BAB II , STATUS DAN FUNGSI HUTAN 
ƒ   BAB III, PENGURUSAN HUTAN 
ƒ   BAB IV, PERENCANAAN KEHUTANAN 
ƒ   BAB V, PENGELOLAAN HUTAN 
ƒ   BAB VI, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, PENDIDIKAN DAN
LATIHAN SERTA PENYULUHAN KEHUTANAN 
ƒ   BAB VII , PENGAWASAN 
ƒ   BAB VIII, PENYERAHAN KEWENANGAN 
ƒ   BAB IX, MASYARAKAT HUKUM ADAT 
ƒ   BAB X, PERAN SERTA MASYARAKAT 
ƒ   BAB XI, GUGATAN PERWAKILAN 
ƒ   BAB XII , PENYELESAIAN SENGKETA KEHUTANAN 
ƒ   BAB XIII, PENYIDIKAN 
ƒ   BAB XIV, KETENTUAN PIDANA 
ƒ   BAB XV , GANTI RUGI DAN SANKSI ADMINISTRATIF 
ƒ   BAB XVI, KETENTUAN PERALIHAN 
ƒ   BAB XVII, KETENTUAN PENUTUP 
ƒ   PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 1999 
  
  
  

Share this

0 Comment to "Undang-Undang Tentang Kehutanan"

Posting Komentar