UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG
KEHUTANAN
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah
Tuhan Yang Maha Esa yang
dianugerahkan kepada
Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh
Negara, memberikan
manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib
disyukuri, diurus, dan
dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya
untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi
mendatang;
b. bahwa hutan, sebagai salah satu penentu
sistem penyangga kehidupan dan sumber
kemakmuran rakyat,
cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu
keberadaannya harus
dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara
lestari, dan diurus
dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional,
serta
bertanggung-gugat;
c. bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan
dan berwawasan mendunia, harus
menampung dinamika aspirasi
dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta
tata nilai masyarakat
yang berdasarkan pada norma hukum nasional;
d. bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 8) sudah tidak sesuai lagi
dengan prinsip
penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan
keadaan, sehingga perlu
diganti;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, b, c, dan d
perlu ditetapkan
undang-undang tentang Kehutanan yang baru.
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal
27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945;
2. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Otonomi
Daerah; Pengaturan,
Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
Berkeadilan; serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka
Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (Lembaran
Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2034);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya
(Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor
3419);
5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 115,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1997
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3699);
7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor
60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839).
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG KEHUTANAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam undang-undang ini
yang dimaksud dengan:
1. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang
bersangkut paut dengan hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan
yang diselenggarakan secara terpadu.
2. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
yang satu dengan
lainnya tidak dapat dipisahkan.
3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang
ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
4. Hutan negara adalah hutan yang berada pa da
tanah yang tidak dibebani hak atas
tanah.
5. Hutan hak adalah hutan yang berada pada
tanah yang dibebani hak atas tanah.
6. Hutan adat adalah hutan negara yang berada
dalam wilayah masyarakat hukum
adat.
7. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil
hutan.
8. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan
erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan
tanah.
9. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan
ciri khas tertentu, yang mempunyai
fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya.
10. Kawasan hutan suaka
alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok
sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta
ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem
penyangga
kehidupan.
11. Kawasan hutan
pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya.
12. Taman buru adalah
kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata berburu.
13. Hasil hutan adalah
benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang
berasal dari
hutan.
14. Pemerintah adalah
Pemerintah Pusat.
15. Menteri adalah
menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang
kehutanan.
Bagian Kedua
Asas dan Tujuan
Pasal 2
Penyelenggaraan
kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan,
kebersamaan, keterbukaan,
dan keterpaduan.
Pasal 3
Penyelenggaraan
kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang
berkeadilan dan
berkelanjutan dengan:
a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang
cukup dan sebaran yang
proporsional;
b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang
meliputi fungsi konservasi, fungsi
lindung, dan fungsi
produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya,
dan ekonomi, yang
seimbang dan lestari;
c. meningkatkan daya dukung daerah aliran
sungai;
d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan
kapasitas dan keberdayaan
masyarakat secara
partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga
mampu menciptakan
ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat
perubahan eksternal;
dan
e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan
dan berkelanjutan.
Bagian Ketiga
Penguasaan Hutan
Pasal 4
(1) Semua hutan di
dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
(2) Penguasaan hutan
oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi
wewenang kepada
pemerintah untuk:
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan
hutan, dan hasil
hutan;
b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai
kawasan hutan atau kawasan hutan
sebagai bukan kawasan
hutan; dan
c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan
hukum antara orang dengan hutan,
serta mengatur
perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
(3) Penguasaan hutan
oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang kenyataannya
masih ada dan diakui keberadaannya,
serta tidak bertentangan
dengan kepentingan
nasional.
BAB II
STATUS DAN FUNGSI HUTAN
Pasal 5
(1) Hutan berdasarkan
statusnya terdiri dari:
a. hutan negara, dan
b. hutan hak.
(2) Hutan negara
sebagaimana dimaksud pada ay at (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.
(3) Pemerintah
menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
dan hutan adat
ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan masih ada
dan diakui keberadaannya.
(4) Apabila dalam
perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada
lagi, maka hak
pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.
Pasal 6
(1) Hutan mempunyai
tiga fungsi, yaitu:
a. fungsi konservasi,
b. fungsi lindung, dan
c. fungsi produksi.
(2) Pemerintah
menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut:
a. hutan konservasi,
b. hutan lindung, dan
c. hutan produksi.
Pasal 7
Hutan konservasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri dari:
a. kawasan hutan suaka alam,
b. kawasan hutan pelestarian alam, dan
c. taman buru.
Pasal 8
(1) Pemerintah dapat
menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus.
(2) Penetapan kawasan
hutan dengan tujuan khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperlukan untuk
kepentingan umum seperti:
a. penelitian dan pengembangan,
b. pendidikan dan latihan, dan
c. religi dan budaya.
(3) Kawasan hutan
dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak
mengubah fungsi pokok
kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 9
(1) Untuk kepentingan
pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air, di setiap kota
ditetapkan kawasan
tertentu sebagai hutan kota.
(2) Ketentuan lebih
lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB III
PENGURUSAN HUTAN
Pasal 10
(1) Pengurusan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, bertujuan
untuk memperoleh
manfaat yang sebesar-besar nya serta serbaguna dan lestari untuk
kemakmuran rakyat.
(2) Pengurusan hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan
penyelenggaraan:
a. perencanaan kehutanan,
b. pengelolaan hutan,
c. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan
latihan, serta penyuluhan kehutanan,
dan
d. pengawasan.
BAB IV
PERENCANAAN KEHUTANAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 11
(1) Perencanaan
kehutanan dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang
menjamin tercapainya
tujuan penyelenggaraan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3.
(2) Perencanaan kehutanan
dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif,
terpadu, serta
memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah.
Pasal 12
Perencanaan kehutanan
sebagaimana dimaksud dala m Pasal 10 ayat (2) huruf a, meliputi:
a. inventarisasi hutan,
b. pengukuhan kawasan hutan,
c. penatagunaan kawasan hutan,
d. pembentukan wilayah pengelolaan hutan,
dan
e. penyusunan rencana kehutanan.
Bagian Kedua
Inventarisasi Hutan
Pasal 13
(1) Inventarisasi hutan
dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi
tentang sumber daya,
potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap.
(2) Inventarisasi hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan survei
mengenai status dan
keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta
kondisi sosial
masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.
(3) Inventarisasi hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
a. inventarisasi hutan tingkat nasional,
b. inventarisasi hutan tingkat wilayah,
c. inventarisasi hutan tingkat daerah aliran
sungai, dan
d. inventarisasi hutan tingkat unit
pengelolaan.
(4) Hasil inventarisasi
hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
antara lain
dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca
sumber daya hutan,
penyusunan rencana kehutanan, dan sistem informasi kehutanan.
(5) Ketentuan lebih
lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pengukuhan Kawasan
Hutan
Pasal 14
(1) Berdasarkan
inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah
menyelenggarakan
pengukuhan kawasan hutan.
(2) Kegiatan pengukuhan
kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
untuk memberikan
kepastian hukum atas kawasan hutan.
Pasal 15
(1) Pengukuhan kawasan
hutan sebagaimana di maksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui
proses sebagai
berikut:
a. penunjukan kawasan hutan,
b. penataan batas kawasan hutan,
c. pemetaan kawasan hutan, dan
d. penetapan kawasan hutan.
(2) Pengukuhan kawasan
hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan rencana
tata ruang wilayah.
Bagian Keempat
Penatagunaan Kawasan
Hutan
Pasal 16
(1) Berdasarkan hasil
pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
dan Pasal 15,
pemerintah menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan.
(2) Penatagunaan
kawasan hutan meliputi kegiatan
penetapan fungsi dan penggunaan
kawasan hutan.
(3) Ketentuan lebih
lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Pembentukan Wilayah
Pengelolaan Hutan
Pasal 17
(1) Pembentukan wilayah
pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat:
a. propinsi,
b. kabupaten/kota, dan
c. unit pengelolaan.
(2) Pembentukan wilayah
pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan
mempertimbangkan
karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran
sungai, sosial budaya,
ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat
hukum adat dan batas
administrasi pemerintahan.
(3) Pembentukan unit
pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi pemerintahan
karena kondisi dan
karakteristik serta tipe hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh
Menteri.
Pasal 18
(1) Pemerintah
menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan
penutupan hutan untuk
setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi
manfaat lingkungan,
manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
(2) Luas kawasan hutan
yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
minimal 30% (tiga puluh
persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan
sebaran yang
proporsional.
Pasal 19
(1) Perubahan
peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan
didasarkan pada hasil
penelitian terpadu.
(2) Perubahan
peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berdampak penting dan
cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh
Pemerintah dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan tentang
tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi
kawasan hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Keenam
Penyusunan Rencana
Kehutanan
Pasal 20
(1) Berdasarkan hasil
inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dan dengan
mempertimbangkan
faktor-faktor lingkungan dan kondisi sosial masyarakat, pemerintah..............
PENDAHULUAN
BAB I, KETENTUAN UMUM
BAB II , STATUS DAN FUNGSI HUTAN
BAB III, PENGURUSAN HUTAN
BAB IV, PERENCANAAN KEHUTANAN
BAB V, PENGELOLAAN HUTAN
BAB VI, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN,
PENDIDIKAN DAN
LATIHAN SERTA
PENYULUHAN KEHUTANAN
BAB VII , PENGAWASAN
BAB VIII, PENYERAHAN KEWENANGAN
BAB IX, MASYARAKAT HUKUM ADAT
BAB X, PERAN SERTA MASYARAKAT
BAB XI, GUGATAN PERWAKILAN
BAB XII , PENYELESAIAN SENGKETA
KEHUTANAN
BAB XIII, PENYIDIKAN
BAB XIV, KETENTUAN PIDANA
BAB XV , GANTI RUGI DAN SANKSI
ADMINISTRATIF
BAB XVI, KETENTUAN PERALIHAN
BAB XVII, KETENTUAN PENUTUP
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN
1999
0 Comment to "Undang-Undang Tentang Kehutanan"
Posting Komentar